Sejarah Paroki St Mikael Tanjung Sakti
Paroki St Mikael Tanjung Sakti merupakan
paroki yang kaya akan sejarah, khususnya sejarah kedatangan Gereja Katolik di
wilayah Keuskupan Agung Palembang. Dibandingkan dengan beberapa paroki di
sekitarnya, paroki ini merupakan sebuah paroki kecil dengan jumlah umat 484
jiwa dari 137 KK (Data Statistik Paroki per 1 Januari 2009).
Paroki Tanjung Sakti merupakan cikal
bakal Keuskupan Agung Palembang. Di tempat inilah untuk pertama kalinya karya
misi Katolik di Sumatera bagian Selatan yang nantinya berkembang menjadi
Keuskupan Agung Palembang. Sebab itu, berbicara mengenai sejarah Gereja Katolik
di Keuskupan Agung Palembang tak bisa dilepaskan dari sejarah paroki Tanjung
Sakti. Dan sebaliknya, berbicara mengenai sejarah paroki Tanjung Sakti
berkaitan erat dengan sejarah gereja di Keuskupan Agung Palembang[1].
Tanjung Sakti pra-Perfectur Apostolik Sumatera
(1887-1911)
Sekitar tahun 1645, kekristenan di
wilayah Sumatera telah dimulai. Pada tahun tersebut, telah berdiri sebuah gereja
di daerah Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sejak saat itulah benih-benih
kekristenan mulai menyebar luas di wilayah Sumatera lainnya, termasuk Sumatera
Selatan.
Sejarah Gereja Katolik Sumatera Selatan
mulai ditorehkan sejak tahun 1887, saat seorang misionaris Jesuit, yakni
P.J.van Meurs SJ mengawali langkah besarnya di sebuah dusun kecil bernama
Tanjung Sakti, Pasemah Ulu Manna, Karesidenan Bengkulu. Ia memulai misinya
dengan membuka sekolah bagi anak-anak pribumi Pasemah. 15 September 1889, untuk
pertama kalinya Pastor Meurs membaptis orang Pasemah yaitu Johannes Gebak
beserta istri dan anak-anaknya. Selain sekolahan, Pastor Meurs juga membantu
mengobati orang sakit.
Tahun 1890, umat Katolik di Tanjung
Sakti baru berjumlah 8 orang, 3 orang disiapkan sebagai guru, dan satu orang
yang sudah menikah disiapkan sebagai katekis. Harapan berkembangnya misi
semakin terbuka lebar. Beberapa murid sekolah sudah minta dibaptis. Agar
pelayanan pastoral lebih intensif, Bruder Jacobus Vester SJ ikut ambil bagian
dalam tugas pelayanan. Ia tiba di Tanjung Sakti pada bulan Maret 1891.
Sayangnya, 5 bulan kemudian pada 8 Agustus 1891 Pastor Meurs meninggal dunia di
Sukabumi karena sakit keras meski telah mendapat perawatan medis sejak April
1891.
21 Desember 1852 Pastor Wilhelmus
Leonardus Jennisen SJ tiba di Batavia. Ia langsung ditempatkan di Tanjung
Sakti. Jumlah umat Katolik baru 5 orang, 2 remaja laki-laki dan 3 anak yang
masih kecil; sementara 20-30 anak-anak di sekolah sudah menjadi katekumen
ketika Pastor Jennisen tiba di tempat itu. Maret 1892, Bruder Vester pindah ke
Maumere, Flores.
Akhir Desember 1896, Pastor Jennisen
dibantu oleh Bruder Jacobus Zinken. Bruder Zinken membangun sebuah gereja kecil
berukuran 5x9m. Gereja itu menampung jumlah umat Katolik Tanjung Sakti yang
telah berkembang pesat. 14 Maret 1897, Mgr Walterus Jacobus Staal, Vikaris
Apostolik Batavia (1893-1897) untuk pertamakalinya menerimakan Sakramen Krisma
kepada 96 orang Katolik dan membaptis 10 orang. Tercatat jumlah umat katolik
tahun 1898 sebanyak 325 orang, 137 orang di antaranya telah menerima komuni.
Dengan kemajuan ini, Tanjung Sakti ditingkatkan statusnya menjadi pos misi.
Kendati memiliki harapan yang cerah dan
menjanjikan, karya misi di Tanjung Sakti dihentikan. Bulan Maret 1898, Bruder
Zinken meninggalkan Tanjung Sakti menuju ke Maumere. Mengingat kurangnya imam,
Superior Jesuit di Hindia Belanda, Pastor Leonardus Hellings, memutuskan agar
misi di Tanjung Sakti ditinggalkan. 12 November 1899, pos misi Tanjung Sakti
diturunkan statusnya menjadi stasi. Pastor Jennisen dipindahkan ke Padang dan
tetap mendapat kesempatan mengunjungi Tanjung Sakti beberapa kali dalam
setahun.
6 Januari 1900, gempa bumi dahsyat
melanda Bengkulu dan sekitarnya, termasuk Tanjung Sakti. Gereja juga runtuh. Hanya
tersisa empat tembok yang masih berdiri serta podium untuk paduan suara. Dalam
kesempatan kunjungannya ke Tanjung Sakti (tiba pada 18 Agustus 1900), Pastor
Jennisen membangun kembali gereja. Gereja lama dibongkar. Sisa pembongkaran
bangunan gereja lama digunakan untuk membangun gereja yang baru dan lebih luas
yakni 19x8m. Gereja dibangun dari kayu yang bermutu baik, atapnya dari bambo.
Seorang pastor dari Maastricht menyumbang gambar-gambar salib. Van der Vossen,
umat Katolik di Bengkulu, menyumbang lonceng gereja. Tahun 1904, gereja baru
selesai dibangun. Dan nantinya, pada Jumat 15 Juli 1905 diberkati oleh Mgr
Edmundus Luypen (Vikaris Apostolik Batavia (1898-1923).
Akhir tahun 1902 Pastor Jennisen
diperbolehkan kembali ke Tanjung Sakti. jumlah umat Katolik mencapai lebih 400
orang. Tahun 1903 jumlah umat katolik 590 orang, yang terdiri dari 518 penduduk
pribumi dan 72 orang Eropa sipil. Daerah pelayanan pos misi Tanjung Sakti
diperluas, mencakup Keresidenan Bengkulu dan berbagai daerah di Keresidenan
Palembang. 12 Desember 1903, Pastor Thomas Bijsterveld SJ tiba di Tanjung Sakti
membantu pelayanan. Namun ia tidak lama di Tanjung Sakti. 9 Oktober 1906, ia
pindah ke Woloan, Menado.
Pada tanggal 30 Juni 1911, Roma
mengeluarkan dekrit tentang pendirian Prefectur Apostolik Sumatera yang
berpusat di Padang. Dengan demikian PA Sumatera dipisahkan dari Vikariat
Apostolik Batavia. Mgr Libertus Cluts OFM Cap menjadi Prefect Apostolik yang
pertama. Pada 25 Juni 1912, Pastor Leonardus Jennisen meninggalkan Tanjung
Sakti. Saat itu jumlah umat Katolik sekitar 660 orang. Pelayanan kemudian
diserahkan kepada imam-imam Kapusin.
Tanjung Sakti pada Masa Perfectur Apostolik Sumatera
(1911-1923)
16 Juni 1912 Pastor Petrus Remigius van
Hoof OFM Cap tiba di Tanjung Sakti untuk mengambilalih reksa pastoral dari
Pastor Leonardus Jennisen SJ. Gereja mengalami kelesuan. Pastor Remigius lebih banyak menganalisis
situasi misi di Tanjung Sakti dan menghabiskan waktunya untuk memberikan perawatan
orang sakit dan mengunjungi keluarga-keluarga Katolik yang tersebar di lebih
dari 50 dusun. Ia melaporkan bahwa misi di Tanjung Sakti tidak memperoleh
banyak hasil. Ia juga mengeluhkan rendahnya mutu umat Katolik di Tanjung Sakti.
Untuk memperkuat misi di Tanjung Sakti,
diutus seorang imam Kapusin dan seorang bruder Kapusin, yakni Pastor Bernadinus
Andreolli dan Bruder Gammarus Broeder. Mereka tiba di Tanjung Sakti pada 30
Agustus 1912. Pada masa ini, pengaruh Islam sangat kuat, terlebih dengan
kegiatan Sarekat Islam yang telah berekspansi di antara para kepala dusun di
Pasemah.
Maret 1913 Pastor Remigius pindah ke
Sungai Selan. Ia digantikan oleh Pastor Gerrit Eleutherius Holstra yang telah
tiba di Tanjung Sakti pada 21 Januari 1913. Pada 14 Agustus 1913, Pastor
Bernadinus Andreolli juga dipindahkan ke Padang, yang diganti oleh Pastor
Donatianus Verhoeven yang tiba di Tanjung Sakti pada 17 Agustus 1913. Pengaruh
Islam yang begitu kuat membuat banyak umat Katolik pindah agama.
6 Januari 1917, Pastor Donatianus
meninggalkan Tanjung Sakti, pindah ke Padang. Pada 8 Februari 1917, sebanyak 7
suster Tilburg (SCMM) tiba di Tanjung Sakti dengan Suster
Acasia Kokx sebagai pimpinannya. Mereka tinggal di biara yang sudah dibangun
Pastor Gerrit (selesai pada Maret 1915). Mereka kemudian mengambilalih
sekolahan dan membuka asrama anak-anak perempuan serta membuka kursus kerajinan
untuk para gadis dan ibu-ibu.
24 Agustus 1920, Pastor Matthias Brans
dan Bruder Wilhelmus datang ke Tanjung Sakti. Namun Pastor Matthias tidak lama
di Tanjung Sakti karena diangkat menjadi Superior Regular Kapusin di Sumatera
dan pada 31 Mei 1921 ia meninggalkan Tanjung Sakti. Kelak ia menjadi Prefect
Apostolik Sumatera yang kedua pada tahun 1922.
21 Juni 1921 datang Pastor Fransiscus
Marianus Spanjer OFM Cap. Ia menggugah kembali iman umat, dengan melakukan
strategi misi yang baru dari rekan-rekan Kapusin yang terdahulu. Ia
memperkenalkan upacara pentahtaan Sakramen Mahakudus, mengunjungi umat Katolik
yang tersebar di dusun-dusun. Kehidupan iman umat lebih menyala. Beberapa umat
Katolik yang telah murtad telah kembali ke gereja. Kendati demikian, Pastor
Marianus mengakui bahwa pos misi Tanjung Sakti adalah pos misi terberat, tak
ada harapan bagi pos misi ini untuk perkembangan Gereja Katolik di Sumatera di
masa depan. Pastor Marianus akan meninggalkan Tanjung Sakti pada 9 November
1924.
Tanjung Sakti pada Masa Perfectur Apostolik Bengkulu
(1923- 1939)
Gereja St Mikael Tanjung Sakti (1938 diberkati Mgr Mekkelholt) |
Pada 27 Desember 1923, Vatikan
mengeluarkan breve No.1675-1678
tentang pemekaran Sumatera menjadi beberapa Prefektur Apostolik. Kini ada 3
Perfektur Apostolik di Sumatera: PA Bangka dan Belitung yang diserahkan kepada
imam-imam SSCC, PA Bengkulu yang diserahkan kepada imam-imam SCJ dan PA Padang
yang diserahkan kepada imam-imam Kapusin.
Tanjung Sakti menjadi pos misi
satu-satunya di wilayah Sumatera Selatan dan menjadi pusat PA Bengkulu. Mengapa
disebut PA Bengkulu? Karena waktu itu pos misi Tanjung Sakti berada di bawah
Keresidenan Bengkulu. PA Bengkulu melayani Bengkulu, Palembang, distrik Lampung
dan Jambi. Pada 28 Mei 1924, Pastor Henricus Leonardus Smeets SCJ diangkat
sebagai Prefect Apostolik Bengkulu yang pertama. Namun ia baru tiba di Tanjung
Sakti pada September 1925.
23 September 1924, 3 misionaris SCJ tiba
di Tanjung Sakti, yakni Pastor Henricus Nobertus van Oort, Pastor Carolus van
Stekelenburg, dan Bruder Felix van Langenberg. Pastor Henricus van Oort menjadi
Pimpinan Misi SCJ. 28 September 1924 secara resmi Pastor Marianus Spanjer OFM
Cap menyerahkan Prefectur Apostolik Bengkulu kepada imam-imam SCJ.
Mei 1925 Pastor Isidorus Gabriel Mikkers
tiba di Tanjung Sakti. 1929, ia kembali ke Belanda karena sakit dan Februari
1930 kembali ke Sumatera Selatan. Sekitar September 1925, Perfect Apostolik
Bengkulu, Mgr. Henricus Smeets tiba di Tanjung Sakti. Mgr Smeets hanya menjabat
sebagai Perfect selama 2 tahun karena tidak kerasan dan kesehatan yang buruk.
April 1927 ia meninggalkan Tanjung Sakti. Semenjak peninggalan Mgr Smeets,
Pastor Henricus van Oort diangkat sebagai pro-Prefect Apostolik Bengkulu
(1927-1934). Jabatannya berakhir setelah Pastor Henricus Mekkelholt diangkat
menjadi Prefect Apostolik Bengkulu.
November
1927, Pastor Carolus van Stekelenburg kembali ke Belanda. Pada tahun ini pula,
Superior Jenderal SCJ, Pater Joseph Laurent Philipe (1926-1935) mengunjungi
Tanjung Sakti. Tahun-tahun berikutnya, datang sejumlah misionaris yang ikut
memperkuat Perfectur Apostolik Bengkulu dan semakin berkembanglah karya misi di
Sumatera Selatan. Pada tahun 1927 ini, Pastor Henricus Hermelink mulai
menggembalakan umat di Tanjung Sakti (1930-1942 dan 1952-1960).
Tahun 1926, salah seorang putera daerah
Tanjung Sakti menjadi seminaris, yakni Antonius Gentiaras. Ia menempuh seminari
menengah di Woloan, Sulawesi. Setelah menyelesaikan seminari menengah, ia
bertolak ke Belanda dan masuk Kongregasi SCJ pada tahun 1936. Di sana ia
terkena radang paru-paru yang parah sehingga disarankan untuk kembali ke
Indonesia. Maka ia melanjutkan studinya di Muntilan. Namun pada 10 Januari 1939
ia meninggal dunia dan dimakamkan di Muntilan.
Juni 1929 Suster Charitas mulai berkarya
di Tanjung Sakti menangani sekolah dan rumah sakit St Yoseph (diberkati pada 10
November 1929). Juli 1930, tiga suster Moerdijk
(Hati Kudus) tiba di Tanjung
Sakti dan mengambil alih sekolahan dan asrama milik SCMM. Suster SCMM kembali
ke Padang. Diakui bahwa peran kedua tarekat suster ini (FCh dan HK) cukup besar
bagi perkembangan misi.
Gereja Tua Pagar Jati |
Tahun 1932 di Pagar Jati, sebuah dusun
dekat Tanjung Sakti, pada tahun 1932 dibangun gereja kecil yang dapat menampung
kira-kira 50 orang katolik. Penduduk setempat membantu membawa kayu dan batu.
Suatu peristiwa yang istimewa dalam sejarah Tanjung Sakti.
1935 Bruder Felix kembali ke Belanda
karena sakit. Pada 1938 Bruder Mattheus Gerardus Schulte, yang telah berkarya
di Sumatera Selatan sekal 1933, membangun gereja baru di Tanjung Sakti untuk
mengganti gereja lama yang sudah tua dan hampir roboh. Akhir tahun 1938 gereja
selesai dibangun dan diberkati Mgr Henricus Mekkelholt pada Januari 1939.
Tanjung Sakti pada Masa Vikariat Apostolik Palembang
(1939-1961)
13 Juni 1939, Vatikan meningkatkan
kedudukan Perfectur Apostolik Bengkulu menjadi Vikariat Apostolik Palembang dan
Mgr H.Mekkelholt menjadi Vikaris Apostolik Palembang. Perkembangan gereja
semakin menyebar luas. Sampai tahun 1941 misi di Tanjung Sakti berkembang
subur.
Pada masa pendudukan Jepang dan perang
kemerdekaan, Gereja di Tanjung Sakti mengalami kesulitan kembali. Beberapa
katekis dan orang katolik tewas di masa ini. Para imam dan beberapa umat
dipenjara di penjara Jepang. Gereja Tanjung Sakti dijadikan gudang beras oleh
Jepang. Beberapa ‘martir’ Tanjung Sakti yang meninggal pada masa ini: Rentaim
(Pagar Jati, dibunuh 1947), Yosef Duasin (Dusun Baru, terbunuh Zaman Guryla),
Encik Aim (Palak Siring, terbunuh zaman Jepang), Pius (Tanjung Bulan, terbunuh
zaman Guryla), Senabun (Dusun Baru, terbunuh 1947-1948).
Tahun 1952, dengan segala kesulitan yang
ada, Pastor Henricus Hermelink membuka kembali pos misinya di Tanjung Sakti. Ia
melayani Tanjung Sakti sampai saat pengunduran dirinya karena sakit pada tahun
1961 dan meninggal dunia di Eschede pada 26 Juni 1964. Kemudian pelayanan di
Paroki Tanjung Sakti diteruskan oleh Pastor Th. Kooijman yang tiba di Tanjung
Sakti pada tahun 1964. Ia berkarya selama 5 tahun karena pada tahun 1969 Pastor
Johannes van Kampen tiba di Tanjung Sakti untuk meneruskan penggembalaan.
Pastor Kampen menggembalakan umat di Tanjung Sakti sampai akhir hayatnya. Ia
meninggal pada 2 Juni 2007 di Tanjung Sakti.[2]
Sekilas tentang Sejarah Stasi Pagaralam (1963-1976)
Gereja St Fransiskus Xaverius Pagaralam |
Stasi Pagaralam mulai dilayani dari
paroki Lahat oleh Pastor Petrus Middeldrop SCJ, Pastor Leo Kwanten SCJ, Pastor
Lucianus Walczak SCJ, dan Pastor Johannes van Kampen SCJ. Awalnya perayaan
Ekaristi dilakukan di rumah-rumah keluarga katolik. Tahun 1965 mulai menetap di
rumah Kel Mah Yie, yang dibeli oleh keluarga Kwee Sam Tik. Rumah inilah yang
kemudian menjadi gereja stasi Pagaralam dengan penampahan dan perombakan.
Pada tahun 1965/1966 dimulailah TK. Akan
tetapi sempat terhenti karena ada beberapa oknum yang melempari. Tahun 1967
dimulailah SD Xaverius. Situasi menjadi lebih kondusif sehingga pendidikan
dasar Xaverius sudah dapat dimulai untuk kepentingan warga Pagaralam.
Pada tahun 1972 pelayanan pastoral umat
dan sekolah dari Lahat diserahkan kepada Paroki Tanjung Sakti. Hingga kini,
Pagaralam menjadi bagian dari pelayanan Paroki Tanjung Sakti. (fr st sigit pranoto scj)
[1] Ada banyak buku yang berisi
tentang Sejarah Gereja di Sumbagsel. Penulis memakai berbagai sumber tersebut
dan menuliskannya kembali dalam laporan ini. Lihat Daftar Pustaka!)
[2] Sekadar catatan: 3 Januari 1961,
Hirarki Gerejani Indonesia berdiri. Dengan demikian Vikariat Apostolik
Palembang berubah statusnya menjadi Keuskupan Palembang dengan Mgr HM
Mekkelholt sebagai uskup pertama. Dan pada 1 Juli 2003 menjadi Keuskupan Agung
Palembang.