Minggu, 24 Juni 2012

Sejarah Paroki St Mikael Tanjung Sakti


Sejarah Paroki St Mikael Tanjung Sakti
Paroki St Mikael Tanjung Sakti merupakan paroki yang kaya akan sejarah, khususnya sejarah kedatangan Gereja Katolik di wilayah Keuskupan Agung Palembang. Dibandingkan dengan beberapa paroki di sekitarnya, paroki ini merupakan sebuah paroki kecil dengan jumlah umat 484 jiwa dari 137 KK (Data Statistik Paroki per 1 Januari 2009).
Paroki Tanjung Sakti merupakan cikal bakal Keuskupan Agung Palembang. Di tempat inilah untuk pertama kalinya karya misi Katolik di Sumatera bagian Selatan yang nantinya berkembang menjadi Keuskupan Agung Palembang. Sebab itu, berbicara mengenai sejarah Gereja Katolik di Keuskupan Agung Palembang tak bisa dilepaskan dari sejarah paroki Tanjung Sakti. Dan sebaliknya, berbicara mengenai sejarah paroki Tanjung Sakti berkaitan erat dengan sejarah gereja di Keuskupan Agung Palembang[1].
Tanjung Sakti pra-Perfectur Apostolik Sumatera (1887-1911)
Sekitar tahun 1645, kekristenan di wilayah Sumatera telah dimulai. Pada tahun tersebut, telah berdiri sebuah gereja di daerah Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sejak saat itulah benih-benih kekristenan mulai menyebar luas di wilayah Sumatera lainnya, termasuk Sumatera Selatan.
Sejarah Gereja Katolik Sumatera Selatan mulai ditorehkan sejak tahun 1887, saat seorang misionaris Jesuit, yakni P.J.van Meurs SJ mengawali langkah besarnya di sebuah dusun kecil bernama Tanjung Sakti, Pasemah Ulu Manna, Karesidenan Bengkulu. Ia memulai misinya dengan membuka sekolah bagi anak-anak pribumi Pasemah. 15 September 1889, untuk pertama kalinya Pastor Meurs membaptis orang Pasemah yaitu Johannes Gebak beserta istri dan anak-anaknya. Selain sekolahan, Pastor Meurs juga membantu mengobati orang sakit.
Tahun 1890, umat Katolik di Tanjung Sakti baru berjumlah 8 orang, 3 orang disiapkan sebagai guru, dan satu orang yang sudah menikah disiapkan sebagai katekis. Harapan berkembangnya misi semakin terbuka lebar. Beberapa murid sekolah sudah minta dibaptis. Agar pelayanan pastoral lebih intensif, Bruder Jacobus Vester SJ ikut ambil bagian dalam tugas pelayanan. Ia tiba di Tanjung Sakti pada bulan Maret 1891. Sayangnya, 5 bulan kemudian pada 8 Agustus 1891 Pastor Meurs meninggal dunia di Sukabumi karena sakit keras meski telah mendapat perawatan medis sejak April 1891.
21 Desember 1852 Pastor Wilhelmus Leonardus Jennisen SJ tiba di Batavia. Ia langsung ditempatkan di Tanjung Sakti. Jumlah umat Katolik baru 5 orang, 2 remaja laki-laki dan 3 anak yang masih kecil; sementara 20-30 anak-anak di sekolah sudah menjadi katekumen ketika Pastor Jennisen tiba di tempat itu. Maret 1892, Bruder Vester pindah ke Maumere, Flores.
Akhir Desember 1896, Pastor Jennisen dibantu oleh Bruder Jacobus Zinken. Bruder Zinken membangun sebuah gereja kecil berukuran 5x9m. Gereja itu menampung jumlah umat Katolik Tanjung Sakti yang telah berkembang pesat. 14 Maret 1897, Mgr Walterus Jacobus Staal, Vikaris Apostolik Batavia (1893-1897) untuk pertamakalinya menerimakan Sakramen Krisma kepada 96 orang Katolik dan membaptis 10 orang. Tercatat jumlah umat katolik tahun 1898 sebanyak 325 orang, 137 orang di antaranya telah menerima komuni. Dengan kemajuan ini, Tanjung Sakti ditingkatkan statusnya menjadi pos misi.
Kendati memiliki harapan yang cerah dan menjanjikan, karya misi di Tanjung Sakti dihentikan. Bulan Maret 1898, Bruder Zinken meninggalkan Tanjung Sakti menuju ke Maumere. Mengingat kurangnya imam, Superior Jesuit di Hindia Belanda, Pastor Leonardus Hellings, memutuskan agar misi di Tanjung Sakti ditinggalkan. 12 November 1899, pos misi Tanjung Sakti diturunkan statusnya menjadi stasi. Pastor Jennisen dipindahkan ke Padang dan tetap mendapat kesempatan mengunjungi Tanjung Sakti beberapa kali dalam setahun.
6 Januari 1900, gempa bumi dahsyat melanda Bengkulu dan sekitarnya, termasuk Tanjung Sakti. Gereja juga runtuh. Hanya tersisa empat tembok yang masih berdiri serta podium untuk paduan suara. Dalam kesempatan kunjungannya ke Tanjung Sakti (tiba pada 18 Agustus 1900), Pastor Jennisen membangun kembali gereja. Gereja lama dibongkar. Sisa pembongkaran bangunan gereja lama digunakan untuk membangun gereja yang baru dan lebih luas yakni 19x8m. Gereja dibangun dari kayu yang bermutu baik, atapnya dari bambo. Seorang pastor dari Maastricht menyumbang gambar-gambar salib. Van der Vossen, umat Katolik di Bengkulu, menyumbang lonceng gereja. Tahun 1904, gereja baru selesai dibangun. Dan nantinya, pada Jumat 15 Juli 1905 diberkati oleh Mgr Edmundus Luypen (Vikaris Apostolik Batavia (1898-1923).  
Akhir tahun 1902 Pastor Jennisen diperbolehkan kembali ke Tanjung Sakti. jumlah umat Katolik mencapai lebih 400 orang. Tahun 1903 jumlah umat katolik 590 orang, yang terdiri dari 518 penduduk pribumi dan 72 orang Eropa sipil. Daerah pelayanan pos misi Tanjung Sakti diperluas, mencakup Keresidenan Bengkulu dan berbagai daerah di Keresidenan Palembang. 12 Desember 1903, Pastor Thomas Bijsterveld SJ tiba di Tanjung Sakti membantu pelayanan. Namun ia tidak lama di Tanjung Sakti. 9 Oktober 1906, ia pindah ke Woloan, Menado.
Pada tanggal 30 Juni 1911, Roma mengeluarkan dekrit tentang pendirian Prefectur Apostolik Sumatera yang berpusat di Padang. Dengan demikian PA Sumatera dipisahkan dari Vikariat Apostolik Batavia. Mgr Libertus Cluts OFM Cap menjadi Prefect Apostolik yang pertama. Pada 25 Juni 1912, Pastor Leonardus Jennisen meninggalkan Tanjung Sakti. Saat itu jumlah umat Katolik sekitar 660 orang. Pelayanan kemudian diserahkan kepada imam-imam Kapusin.   
Tanjung Sakti pada Masa Perfectur Apostolik Sumatera (1911-1923)
16 Juni 1912 Pastor Petrus Remigius van Hoof OFM Cap tiba di Tanjung Sakti untuk mengambilalih reksa pastoral dari Pastor Leonardus Jennisen SJ. Gereja mengalami kelesuan.  Pastor Remigius lebih banyak menganalisis situasi misi di Tanjung Sakti dan menghabiskan waktunya untuk memberikan perawatan orang sakit dan mengunjungi keluarga-keluarga Katolik yang tersebar di lebih dari 50 dusun. Ia melaporkan bahwa misi di Tanjung Sakti tidak memperoleh banyak hasil. Ia juga mengeluhkan rendahnya mutu umat Katolik di Tanjung Sakti.
Untuk memperkuat misi di Tanjung Sakti, diutus seorang imam Kapusin dan seorang bruder Kapusin, yakni Pastor Bernadinus Andreolli dan Bruder Gammarus Broeder. Mereka tiba di Tanjung Sakti pada 30 Agustus 1912. Pada masa ini, pengaruh Islam sangat kuat, terlebih dengan kegiatan Sarekat Islam yang telah berekspansi di antara para kepala dusun di Pasemah.
Maret 1913 Pastor Remigius pindah ke Sungai Selan. Ia digantikan oleh Pastor Gerrit Eleutherius Holstra yang telah tiba di Tanjung Sakti pada 21 Januari 1913. Pada 14 Agustus 1913, Pastor Bernadinus Andreolli juga dipindahkan ke Padang, yang diganti oleh Pastor Donatianus Verhoeven yang tiba di Tanjung Sakti pada 17 Agustus 1913. Pengaruh Islam yang begitu kuat membuat banyak umat Katolik pindah agama.
6 Januari 1917, Pastor Donatianus meninggalkan Tanjung Sakti, pindah ke Padang. Pada 8 Februari 1917, sebanyak 7 suster Tilburg  (SCMM) tiba di Tanjung Sakti dengan Suster Acasia Kokx sebagai pimpinannya. Mereka tinggal di biara yang sudah dibangun Pastor Gerrit (selesai pada Maret 1915). Mereka kemudian mengambilalih sekolahan dan membuka asrama anak-anak perempuan serta membuka kursus kerajinan untuk para gadis dan ibu-ibu.
24 Agustus 1920, Pastor Matthias Brans dan Bruder Wilhelmus datang ke Tanjung Sakti. Namun Pastor Matthias tidak lama di Tanjung Sakti karena diangkat menjadi Superior Regular Kapusin di Sumatera dan pada 31 Mei 1921 ia meninggalkan Tanjung Sakti. Kelak ia menjadi Prefect Apostolik Sumatera yang kedua pada tahun 1922.
21 Juni 1921 datang Pastor Fransiscus Marianus Spanjer OFM Cap. Ia menggugah kembali iman umat, dengan melakukan strategi misi yang baru dari rekan-rekan Kapusin yang terdahulu. Ia memperkenalkan upacara pentahtaan Sakramen Mahakudus, mengunjungi umat Katolik yang tersebar di dusun-dusun. Kehidupan iman umat lebih menyala. Beberapa umat Katolik yang telah murtad telah kembali ke gereja. Kendati demikian, Pastor Marianus mengakui bahwa pos misi Tanjung Sakti adalah pos misi terberat, tak ada harapan bagi pos misi ini untuk perkembangan Gereja Katolik di Sumatera di masa depan. Pastor Marianus akan meninggalkan Tanjung Sakti pada 9 November 1924.  
Tanjung Sakti pada Masa Perfectur Apostolik Bengkulu (1923- 1939)
Gereja St Mikael Tanjung Sakti (1938 diberkati Mgr Mekkelholt)
Pada 27 Desember 1923, Vatikan mengeluarkan breve No.1675-1678 tentang pemekaran Sumatera menjadi beberapa Prefektur Apostolik. Kini ada 3 Perfektur Apostolik di Sumatera: PA Bangka dan Belitung yang diserahkan kepada imam-imam SSCC, PA Bengkulu yang diserahkan kepada imam-imam SCJ dan PA Padang yang diserahkan kepada imam-imam Kapusin.
Tanjung Sakti menjadi pos misi satu-satunya di wilayah Sumatera Selatan dan menjadi pusat PA Bengkulu. Mengapa disebut PA Bengkulu? Karena waktu itu pos misi Tanjung Sakti berada di bawah Keresidenan Bengkulu. PA Bengkulu melayani Bengkulu, Palembang, distrik Lampung dan Jambi. Pada 28 Mei 1924, Pastor Henricus Leonardus Smeets SCJ diangkat sebagai Prefect Apostolik Bengkulu yang pertama. Namun ia baru tiba di Tanjung Sakti pada September 1925.
23 September 1924, 3 misionaris SCJ tiba di Tanjung Sakti, yakni Pastor Henricus Nobertus van Oort, Pastor Carolus van Stekelenburg, dan Bruder Felix van Langenberg. Pastor Henricus van Oort menjadi Pimpinan Misi SCJ. 28 September 1924 secara resmi Pastor Marianus Spanjer OFM Cap menyerahkan Prefectur Apostolik Bengkulu kepada imam-imam SCJ.
Mei 1925 Pastor Isidorus Gabriel Mikkers tiba di Tanjung Sakti. 1929, ia kembali ke Belanda karena sakit dan Februari 1930 kembali ke Sumatera Selatan. Sekitar September 1925, Perfect Apostolik Bengkulu, Mgr. Henricus Smeets tiba di Tanjung Sakti. Mgr Smeets hanya menjabat sebagai Perfect selama 2 tahun karena tidak kerasan dan kesehatan yang buruk. April 1927 ia meninggalkan Tanjung Sakti. Semenjak peninggalan Mgr Smeets, Pastor Henricus van Oort diangkat sebagai pro-Prefect Apostolik Bengkulu (1927-1934). Jabatannya berakhir setelah Pastor Henricus Mekkelholt diangkat menjadi Prefect Apostolik Bengkulu. 
November 1927, Pastor Carolus van Stekelenburg kembali ke Belanda. Pada tahun ini pula, Superior Jenderal SCJ, Pater Joseph Laurent Philipe (1926-1935) mengunjungi Tanjung Sakti. Tahun-tahun berikutnya, datang sejumlah misionaris yang ikut memperkuat Perfectur Apostolik Bengkulu dan semakin berkembanglah karya misi di Sumatera Selatan. Pada tahun 1927 ini, Pastor Henricus Hermelink mulai menggembalakan umat di Tanjung Sakti (1930-1942 dan 1952-1960).
Tahun 1926, salah seorang putera daerah Tanjung Sakti menjadi seminaris, yakni Antonius Gentiaras. Ia menempuh seminari menengah di Woloan, Sulawesi. Setelah menyelesaikan seminari menengah, ia bertolak ke Belanda dan masuk Kongregasi SCJ pada tahun 1936. Di sana ia terkena radang paru-paru yang parah sehingga disarankan untuk kembali ke Indonesia. Maka ia melanjutkan studinya di Muntilan. Namun pada 10 Januari 1939 ia meninggal dunia dan dimakamkan di Muntilan.
Juni 1929 Suster Charitas mulai berkarya di Tanjung Sakti menangani sekolah dan rumah sakit St Yoseph (diberkati pada 10 November 1929). Juli 1930, tiga suster Moerdijk (Hati Kudus) tiba di Tanjung Sakti dan mengambil alih sekolahan dan asrama milik SCMM. Suster SCMM kembali ke Padang. Diakui bahwa peran kedua tarekat suster ini (FCh dan HK) cukup besar bagi perkembangan misi.
Gereja Tua Pagar Jati
Tahun 1932 di Pagar Jati, sebuah dusun dekat Tanjung Sakti, pada tahun 1932 dibangun gereja kecil yang dapat menampung kira-kira 50 orang katolik. Penduduk setempat membantu membawa kayu dan batu. Suatu peristiwa yang istimewa dalam sejarah Tanjung Sakti.
1935 Bruder Felix kembali ke Belanda karena sakit. Pada 1938 Bruder Mattheus Gerardus Schulte, yang telah berkarya di Sumatera Selatan sekal 1933, membangun gereja baru di Tanjung Sakti untuk mengganti gereja lama yang sudah tua dan hampir roboh. Akhir tahun 1938 gereja selesai dibangun dan diberkati Mgr Henricus Mekkelholt pada Januari 1939.

Tanjung Sakti pada Masa Vikariat Apostolik Palembang (1939-1961)
13 Juni 1939, Vatikan meningkatkan kedudukan Perfectur Apostolik Bengkulu menjadi Vikariat Apostolik Palembang dan Mgr H.Mekkelholt menjadi Vikaris Apostolik Palembang. Perkembangan gereja semakin menyebar luas. Sampai tahun 1941 misi di Tanjung Sakti berkembang subur.
Pada masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, Gereja di Tanjung Sakti mengalami kesulitan kembali. Beberapa katekis dan orang katolik tewas di masa ini. Para imam dan beberapa umat dipenjara di penjara Jepang. Gereja Tanjung Sakti dijadikan gudang beras oleh Jepang. Beberapa ‘martir’ Tanjung Sakti yang meninggal pada masa ini: Rentaim (Pagar Jati, dibunuh 1947), Yosef Duasin (Dusun Baru, terbunuh Zaman Guryla), Encik Aim (Palak Siring, terbunuh zaman Jepang), Pius (Tanjung Bulan, terbunuh zaman Guryla), Senabun (Dusun Baru, terbunuh 1947-1948).
Tahun 1952, dengan segala kesulitan yang ada, Pastor Henricus Hermelink membuka kembali pos misinya di Tanjung Sakti. Ia melayani Tanjung Sakti sampai saat pengunduran dirinya karena sakit pada tahun 1961 dan meninggal dunia di Eschede pada 26 Juni 1964. Kemudian pelayanan di Paroki Tanjung Sakti diteruskan oleh Pastor Th. Kooijman yang tiba di Tanjung Sakti pada tahun 1964. Ia berkarya selama 5 tahun karena pada tahun 1969 Pastor Johannes van Kampen tiba di Tanjung Sakti untuk meneruskan penggembalaan. Pastor Kampen menggembalakan umat di Tanjung Sakti sampai akhir hayatnya. Ia meninggal pada 2 Juni 2007 di Tanjung Sakti.[2]

Sekilas tentang Sejarah Stasi Pagaralam (1963-1976)
Gereja St Fransiskus Xaverius Pagaralam
Stasi Pagaralam mulai dilayani dari paroki Lahat oleh Pastor Petrus Middeldrop SCJ, Pastor Leo Kwanten SCJ, Pastor Lucianus Walczak SCJ, dan Pastor Johannes van Kampen SCJ. Awalnya perayaan Ekaristi dilakukan di rumah-rumah keluarga katolik. Tahun 1965 mulai menetap di rumah Kel Mah Yie, yang dibeli oleh keluarga Kwee Sam Tik. Rumah inilah yang kemudian menjadi gereja stasi Pagaralam dengan penampahan dan perombakan.
Pada tahun 1965/1966 dimulailah TK. Akan tetapi sempat terhenti karena ada beberapa oknum yang melempari. Tahun 1967 dimulailah SD Xaverius. Situasi menjadi lebih kondusif sehingga pendidikan dasar Xaverius sudah dapat dimulai untuk kepentingan warga Pagaralam.
Pada tahun 1972 pelayanan pastoral umat dan sekolah dari Lahat diserahkan kepada Paroki Tanjung Sakti. Hingga kini, Pagaralam menjadi bagian dari pelayanan Paroki Tanjung Sakti. (fr st sigit pranoto scj)



[1] Ada banyak buku yang berisi tentang Sejarah Gereja di Sumbagsel. Penulis memakai berbagai sumber tersebut dan menuliskannya kembali dalam laporan ini. Lihat Daftar Pustaka!)
[2] Sekadar catatan: 3 Januari 1961, Hirarki Gerejani Indonesia berdiri. Dengan demikian Vikariat Apostolik Palembang berubah statusnya menjadi Keuskupan Palembang dengan Mgr HM Mekkelholt sebagai uskup pertama. Dan pada 1 Juli 2003 menjadi Keuskupan Agung Palembang.